Logo Matahari Sakti

PT MATAHARI SAKTI

jumbotron image

Apa Yang Salah Dengan Patin Indonesia

14 Juli 2023 10:16
42.jpg

Ketika saya mengikuti pertemuan yang fokus membahas industri patin di Indonesia. Persoalan yang dibahas masih 'mbulet', seputar masalah warna fillet ikan, harga ikan patin yang murah, harga pakan yang mahal, kalah bersaing dengan fillet patin asal Vietnam, dan persoalan infrastruktur lainnya. Jangan sampai menyelesaikan masalah tanpa jalan keluar.

Intinya adalah daya saing fillet patin Indonesia kalah dengan Vietnam. Solusi yang tepat hanya satu: melarang impor patin. Kalah kok dibiarkan! Pemerintah sudah mengambil kebijakan itu, tepat dan cerdas. Apapun alasannya, tetap diberlakukan pelarangan tersebut, termasuk alasan kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (AEC). Rakyat yang belum siap harus dilindungi! Tentu para pemikir yang sudah teracuni pikiran global akan sinis melihat pendapat saya ini.

Globalisasi ada juga dampak positifnya. Membangun kebersamaan antar bangsa. Tetapi ada juga didalamnya para oportunis yang menghamba pada uang, tidak mempedulikan kepentingan negara dan rakyatnya. Akui saja bahwa pemerintah saat itu lalai, utamanya para pemimpin yang menandatangani kesepakatan. Sejak dini tidak mempersiapkan rakyatnya untuk bersaing. Justru saat pemberlakuan kesepakatan sudah makin dekat, pemerintah baru makin “gupuh” dan bahkan “gumun”. Oh, ternyata pemberlakukan AEC sudah dekat. Nasi sudah menjadi bubur. Selanjutnya kita harus bagaimana? Melindungi pelaku bisnis didalam negeri terus menerus, tidak mendidik. Tetapi membiarkan rakyat yang jelas kalah bersaing, itu dosa besar! Kita harus kerja lebih keras lagi, kita sama-sama tingkatkan competitiveness patin Indonesia.

Patin adalah Patin, bukan Dori. Nama dan image “PATIN” harus diperkuat sebagai Original Brand Indonesia. Jangan terbawa pencitraan produk patin asal impor. Tugas siapa, adalah tugas para stakeholder yang memiliki kepentingan dalam membangun Patin Indonesia. Pemerintah yang kelebihan uang, harus bisa menggunakan dananya secara efektif, termasuk promosi ikan.

Bagaimana soal warna daging ikan patin? Konsumen Indonesia tidak mempermasalahkan warna daging patin. Fillet patin impor sedang membangun persepsi, kebelet pengin masuk pasar Indonesia. Mereka menggunakan selling point : patin dengan warna daging putih. Persepsi yang diselingkuhkan agar konsumen high-end class terpengaruh. Sungguh tidak masuk akal. Kita justru harus khawatir campuran bahan yang membuatnya fillet patin impor menjadi putih!

Patin Indonesia sudah memenuhi syarat market demand, lezat dan sehat. Ketersediaan patin yang belum sesuai harapan. Soal jenis patin: kita punya Patin Pasopati, Patin Jambal, Patin Siam. Itu nama-nama keren yang patut dibanggakan. Persoalan bagaimana proses ikan patin menjadi fillet yang atraktif, eye catching, serahkan pada fish processing dan exporter. Mereka miliki skill, knowledge dan money!

Jangan diserahkan persoalan branding patin kepada para unit pengolah ikan yang berjiwa trader. Hanya mau kulakan ikan patin, jika harga murah. Pemerintah perlu men-support unit pengolah ikan yang memiliki vision dalam mengembangkan patin. Jangan memilih spekulan yang punya coldstorage. Masih banyak hal yang perlu dibahas secara detail. Bukan semata bagaimana cara membesarkan patin. Tetapi juga cara mengolah, mengemas dan memasarkannya.

Soal pakan ikan, ada pihak yang berpendapat harga pakan ikan Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan harga pakan di Vietnam. Ini pendapat yang sudah ketinggalan jaman. Kalau berdasarkan harga bahan baku “katul”, sepertinya murah. Disana gudangnya beras, buktinya kita masih impor beras dari sana! Berarti katulnya banyak. Di Indonesia, para pembudidaya sudah diberikan pilihan pakan, dengan beberapa varian sesuai kelasnya. Contoh: PT. Matahari Sakti memproduksi pakan patin kualitas standard, merek PREO-250 (tipe apung) dan BRAVION-260 (tipe tenggelam). Jika ingin patinnya tumbuh lebih cepat, bisa menggunakan pakan lele PRIMA FEED LP atau PREO-130.

Tentu masih banyak persoalan yang tidak bisa dipecahkan oleh stakeholders perpatinan. Harus sinergi lintas sektoral. Pemerintah harus bisa menggunakan dana secara efektif untuk memperbaiki sarana dan prasarananya. Saat ini, kita sudah dihadapkan pada situasi permintaan patin yang terus meningkat. Masyarakat sudah sadar bahwa ikan sudah menjadi pilihan makanan yang sehat. Permintaan patin untuk pasar domestik meningkat pesat.

Unit Pengolah Ikan juga semakin aktif mencari bahan baku patin untuk fillet patin. Para pembudidaya patin di Sumatra & Kalimantan semakin bersemangat. Para pembudidaya lele di Jawa, sebagian berpindah untuk memelihara patin. Di Jawa Timur, pembudidaya patin sudah terbiasa panen dengan ukuran 400-500 gram per ekor. Harga sekitar Rp 15.000 per kg. Sedangkan patin untuk kebutuhan fillet, ukuran yang dicari adalah utuh dengan berat 800 gram sampai 1,2 kg per ekor. Harga per kilonya sekitar Rp16.000 on farm.

Sekarang, kita tidak perlu memperdebatkan lagi tentang aneka persoalan perpatinan Indonesia. Sudah saatnya mencari solusi yang tepat dalam membangun brand image “PATIN INDONESIA”. Masakan lokal khas patin sudah banyak, tinggal memasarkannya dengan tepat. Marketing communicationnya harus disusun secara tepat.

Pihak KKP, khususnya direktorat pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, semakin kreatif menggunakan saluran promosi yang tepat. Termasuk yang saya dengar melalui di radio PAS FM Surabaya. Iklan tentang ajakan masuk bisnis lele. Tinggal strategi promosi pada tataran Above The Line yang harus digiatkan. Indonesia banyak orang pintar dan orang bejo. Keduanya bisa digabungkan dan bersinergi untuk mengerjakan PR Perpatinan. Guruku, Henry Chesbourgh dari UC Berkeley berkata, “Most innovation fail. And, companies that don't innovate will die”. Ayo, gunakan inovasi & kreatifitasmu. Bravo Patin Indonesia!! (@pur)

Share

    PT. MATAHARI SAKTI © 2023